Selasa, 14 Juli 2015

Topeng Blantek, Terima Kasih

Saya Afriani, kerap disapa Rian. Saya masih duduk di bangku Perkuliahan Semester IV Jurusan Penyiaran di Bina Sarana Informatika. Dalam coretan ini saya ingin menuliskan sedikit pengalaman saya dan teman-teman saya saat memproduksi sebuah film pendek berjudul "Totok di Batavia". Sekitar bulan September 2014, saya memasuki Semester III di bangku Perkuliahan. Di Semester ini saya dan teman-teman mendapat tugas memproduksi sebuah film pendek dengan durasi 5 menit untuk dilombakan di kompetisi film pendek antar cabang kampus se BSI. Kami harus membuat cerita yang orisinil dan menarik. Kompetisi ini bukan sebagai gengsi-gengsian semata, tapi juga hasilnya akan dimasukkan kedalam nilai beberapa mata kuliah kami di Semester III, seperti Teknik Penyutradaraan, Teknik Kamera, Teknik Editing, Teknik Penulisan Naskah, dan Tata Suara & Musik. Sehingga saya dan teman-teman harus mengupayakan cerita yang sangat bagus. Karena saya pribadi sangat percaya, salah satu yang sangat menentukan keberhasilan sebuah film adalah naskah/ide ceritanya. Setelah hampir sebulan kami mendiskusikan ide cerita. Saya dan beberapa teman berhasil membuat naskah. Sehingga jadilah 2 naskah untuk di voting bersama teman-teman. Ketika voting naskah saya lah yang terpilih. Saat itu saya membuat sebuah naskah cerita berlatar budaya Jawa dan zaman Pewayangan. Naskah tersebut saya tulis bersama sahabat saya, Andriani Nova, yang tidak berkuliah di BSI. Namun sayang ketika saya melakukan survey lokasi bersama teman-teman di Puncak, tempat dimana kami akan melaksanakan kompetisi tersebut. Saya amat kecewa. Lokasi yang kami datangi ternyata tidak sesuai dengan interpretasi saya. Sehingga seketika saya langsung membatalkan naskah yang terpilih itu, dan berkata kepada teman-teman, "Sorry tempat gak mendukung, dan gue gak mau ambil resiko dari naskah ini." Esoknya di kampus kami kembali berembuk lagi untuk mempersiapkan naskah yang baru. Sampai akhirnya naskah salah seorang teman dipilih menjadi ide cerita. Kami mulai mengolah dan membagi naskah tersebut dengan divisi-divisi lain. Hampir setiap malam kami latihan mulai membedah naskah, penempatan kamera, acting, dan lain-lain. Sampai suatu ketika naskah ini kami diskusikan dengan beberapa dosen yang mengajar kami, niatnya hanya untuk bimbingan. Alhasil ternyata naskah yang ada ini mendapat reaksi yang bertentangan dari dosen kami. Terutama dari background latar belakang budaya dalam ceritanya. Kami diminta riset lagi karena naskah ini terkait dengan budaya sebuah daerah. Kami akhirnya kembali riset terkait naskah tersebut. Tapi hingga 3 minggu menjelang kompetisi naskah kami belum mendapat tanggapan yang baik dari pihak dosen maupun kakak kelas kami. Berkat diskusi-diskusi dengan semua, akhirnya kami pun memutuskan untuk membuat cadangan naskah baru. Saya kembali dipercaya untuk membuat naskah. Sebagai jaga-jaga jikalau naskah yang ada belum juga berhasil mendapatkan bukti otentik dari riset. Sudah h-3 menuju kompetisi. Saya memutar otak untuk membuat cerita baru yang lebih kuat, orisinil, dan juga mendukung dengan lokasi. Jujur, saya pusing setengah mati. Pada suatu malam sepulang kuliah saya tak bisa tidur memikirkan nasib kelas saya dikompetisi itu. Waktu sudah sedekat ini ide cerita pun belum juga dipastikan. Kelas kami sudah ketinggalan jauh dari kelas-kelas lain. Saya mengambil handphone dan menghubungi Nova, sahabat saya, untuk sharing tentang masalah ini. Sembari saya membuka internet untuk searching, siapa tahu saya dapat ilham. Ketika browsing di google, saya menemukan sebuah blog seseorang yang banyak membahas mengenai kebudayaan dan kesenian Betawi. Saya mulai membaca-baca. Dalam tulisan di blog itu memuat salah satu kebudayaan dan kesenian Betawi bernama Topeng Blantek. Saya baru mendengar nama kesenian ini, sehingga saya langsung tertarik untuk mencari tahunya lebih banyak. Tidak puas hanya dari satu blog, maka saya mulai membaca dari blog atau website lain. Alhasil banyak juga masyarakat yang menulis tentang kesenian ini. Saya juga mencari di media sosial seperti facebook dan twitter. Di facebook saya menemukan salah satu fan page Sanggar Topeng Blantek yang berlokasi di Jakarta Selatan. Fajar Ibnu Sena, pimpinan Bang Nasir Mupid. Saya bagi temuan saya ini kepada Nova, dan kami mulai berdiskusi melalui sms mengenai cerita dengan menggunakan latar belakang kesenian Topeng Blantek. Berkat fan page faceebook tersebut saya menghubungi pihak sanggar, saya mendapat tanggapan. Ketika itu saya bergerak cukup cepat. 3 hari kemudian saya dan Nova memutuskan untuk datang langsung ke Sanggar Fajar Ibnu Sena untuk riset dan ngobrol terkait Topeng Blantek. Saya janjian dengan Bang Abdul Aziz, admin fan page facebook tersebut. Kami diminta datang ke sanggar mereka di Jalan Cileduk Raya Gg. H.Syatirih No. 82 RT. 002/03 Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Saya dan Nova segera bergerak mencari alamat dan kami berhasil bertemu admin dan salah satu penggiat sanggar, Bang Pauzi. Diperbicangan kami tersebut, mereka banyak cerita soal sejarah dari Topeng Blantek. Saya mendengarkan dengan cermat dan menulis hal-hal yang penting. Seketika saya menjadi semakin tertarik ketika mereka mulai cerita tentang kondisi Topeng Blantek hari ini. Kesenian ini belum benar-benar tercatat sebagai warisan budaya Betawi yang tertua dalam arsip Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Mereka banyak cerita bagaimana seniman-seniman dan penggiat Topeng Blantek, memperjuangkan kesenian ini agar mendapat pengakuan yang kuat dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Saya menjadi sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Kesenian yang sudah lahir sejak jaman kolonial dan mendominasi beberapa wilayah di Jabodetabek, khususnya di Jakarta Selatan, justru tidak mendapat tempat yang layak dari pemerintah. Kesenian ini justru diabaikan dan lambat laun dilupakan. Dari hampir puluhan sanggar Topeng Blantek yang hidup di Jabodetabek sejak tahun 1970 an, hanya tersisa 3-4 sanggar saja. Sanggar tersebut perlahan-lahan tergilas arus modernisasi jaman, dan tidak tersedianya yempat untuk mereka berkarya. Salah satu sanggar yang masih aktif dan konsisten melestarikan Topeng Blantek adalah sanggar Fajar Ibnu Sena, tempat mereka berada. Singkat cerita, saya dan Nova berhasil membuat naskah cerita berlatar Topeng Blantek. Naskah ini saya diskusikan dengan teman-teman. Kami melakukan voting ulang dari naskah yang sebelumnya, dan naskah yang saya dan Nova beri judul "Totok di Batavia" ini terpilih. Kami membuat janji kembali dengan pihak sanggar, dan saya mengajak teman-teman saya untuk mendiskusikan naskah ini untuk film kami. Di sanggar, kami bertemu dengan Bang Nasir, pendiri sekaligus pimpinan sanggar Fajar Ibnu Sena. Beliau pun banyak memberikan kami pelajaran dan cerita-cerita masa lalu yang menjadi bagian dari lahir dan berkembangnya Topeng Blantek. Bang Nasir juga membaca naskah Totok di Batavia yang saya dan Nova buat. Beliau tertarik dan mendukung. Diskusi yang terjadi terasa sangat ramah dan menyenangkan. Bang Nasir meminjamkan kami topeng Jantuk dan Bodor serta 3 buah sundung serta obor, untuk property kami ketika produksi nanti. Terima kasih, Bang Nasir. Tiba saat kami produksi, yaitu bulan November 2014. Kami datang ke Puncak dengan 3 cabang kampus BSI lainnya. Berangkat jam 7.00 WIB dari Jakarta, sampai pukul 11.00 WIB di Puncak, tepatnya daerah Cimacan. Dari pukul 11.00-13.00 WIB kami beristirahat dan mempersiapkan property serta kamera untuk produksi. Pukul 13.00 WIB kami memulai produksi hingga malam pukul 23.00 WIB. Kondisi yang terlihat di lokasi shooting kami sangat menegangkan karena kami diburu dengan waktu. Dimalam puncak pengumuman pemenang babak kualifikasi kelas kami berhasil mengalahkan 3 kampus lainnya. Dan meraih kemenangan dari banyak nominasi, diantaranya Naskah terbauk, Penyutradaraan terbaik, Tata Artistik terbaik, Editing terbaik, dan tentunya Film terbaik. Bukan kepalang senangnya kami. Ini terjadi berkat doa, usaha, dan semangat seluruh kru. Sebagai bonus kami juga mendapat penghargaan sebagai Best Performance dimalam anugerah berkat pertunjukan teatrikal karya M. Geo dan kawan-kawan. Sampai hari ini mungkin euphoria kemenangan ini masih terasa. Masih menyisakan kebahagiaan yang bukan kepalang berharga untuk kami, apalagi sebagai langkah awal kami menjadi film maker. Saya pun merasakan kebahagiaan yang sama dari teman-teman sanggar Fajar Ibnu Sena, mewakili teman-teman seniman Topeng Blantek. Beberapa kali teman-teman sanggar sering mengupdate apresiasi mereka tentang film Totok di Batavia ini melalui media sosial, seperti facebook. Mereka juga menuliskan apresiasi mereka kedalam blog. Bagaimanapun keberhasilan film ini tak luput dari bantuan dan dukungan teman-teman seniman Topeng Blantek, khususnya sanggar Fajar Ibnu Sena, yang dengan suka rela dan senang hati berbagi cerita dan pengalaman mereka selama berkarya melestarikan kesenian yang hampir punah ini. Satu hal sebenarnya yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini. Saya berterima kasih yang tak terhingga kepada Topeng Blantek, sebuah karya seni dan budaya dari tanah tercinta saya, Betawi, yang menjadi titik tumpu kekuatan dalam film Totok di Batavia. Saya dan Nova sangat bahagia, serta merupakan satu kehormatan besar untuk kami membuat sebuah naskah cerita budaya berlatar belakang kesenian yang hampir punah dan tergilas jaman ini. Saya dan Nova serta teman-teman dalam Akar Lensa merasa senang dapat menjadi bagian orang-orang yang turut memperjuangkan dan melestarikan salah satu situs kebudayaan di Indonesia ini. Walaupun begitu, apa yang sudah saya dan teman-teman lakukan tidak ada apa-apanya dengan yang sudah teman-teman seniman dan penggiat Topeng Blantek lakukan selama ini. Konsistensi dan kesabaran mereka menjadi sebuah nyawa bagi hidupnya Topeng Blantek di Indonesia. Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, mereka masih memiliki semangat yang tinggi untuk berkarya. Topeng Blantek tak akan hidup tanpa semangat teman-teman. Topeng Blantek, salah satu mahakarya tertua yang hidup di tanah Betawi, salah satu bentuk seni pertunjukan yang memberikan wadah bagi penggiatnya untuk terus belajar, salah satu bagian paling penting dalam perkembangan kesenian di Jabodetabek, khususnya di DKI Jakarta, harus dilestarikan dan diapresiasi secara penuh agar dapat terus dinikmati oleh anak cucu kita nanti. Topeng Blantek, Terima Kasih. Parung, 25 April 2015 Pukul 13.08 WIB ttd Rian Riyadi (bersama sahabat saya, Andriani Nova)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar