Selasa, 14 Juli 2015

Totok Di Batavia

Oleh : Rian Riyadi dan Andriani Nova Robert, seorang laki-laki keturunan Belanda totok yang dilahirkan di tanah Batavia adalah seorang yang sangat fanatik terhadap budaya Betawi. Robert, merasa dirinya adalah Betawi hanya raganya saja Belanda. Dalam kehidupan sehari-hari, Robert lebih senang bergaul dengan orang Betawi daripada dengan orang Belanda. Mengobrol dengan bahasa Betawi, berlogat Belanda, dan kecintaannya juga ditunjukkan dengan mengganti nama menjadi Robi'ih. Suatu hari, Robert pulang dari hobinya menonton Topeng Blantek. Baginya, Topeng Blantek adalah mahakarya untuk semua kalangan. Robert, membayangkan dirinya berada menjadi salah satu tokoh dalam pertunjukan tersebut. Sepulangnya ia, disampaikanlah niatnya pada orang tua dan keluarganya. Tentu keluarganya menolak dan ini merupakan puncak dari kemuakkan keluarganya atas Robert yang sudah tidak ada nasionalisnya lagi pada Belanda, melainkan pada tanah air tirinya, Betawi. Orang tua Robert, mengusirnya dari rumah. Robert kabur dan menuju ke perguruan Topeng Blantek untuk belajar. Dengan susah payah, Robert membujuk pemilik grup pertunjukan Topeng Blantek, Babeh Pi'ung, untuk menerimanya. Akhirnya, dengan jaminan sebuah pistol, Robert berhasil bergabung dengan grup tersebut. Dimalam pertunjukan Topeng Blantek, Robert dan pemain lain bersiap-siap. Robert, memainkan lakon sebagai orang Betawi. Ia mendapatkan porsi yang cukup banyak dalam pertunjukan. Saat Robert, sedang bermain lakon dengan pemain lainnya, tiba-tiba dari arah samping Babeh Pi'ung menembak Robert. Robert, jatuh seketika. Seluruh penonton Topeng Blantek bersorak-sorai melihat Robert yang sedang meregang nyawa. Rupanya, Babeh Pi'ung dan masyarakat setempat sudah merancang strategi untuk membunuh Robert. Mereka hanya berpura-pura menerima seorang Belanda untuk bergabung dalam kelompok mereka. Mereka tidak akan pernah mempercayai seseorang yang menjadi bagian dari musuh mereka, yang menjajah mereka lebih dari 3 (tiga) abad lamanya. Robert, seorang Belanda yang mencintai Betawi telah mati karena kecintaannya sendiri. Sementara Babeh Pi'ung dan masyarakat Betawi lainnya justru merasa telah menang, karena berhasil melumpuhkan salah satu manusia yang menjadi penjajah di negeri mereka.

Skenario Totok Di Batavia

Oleh : Afriani Respati Scene 1. Ext - Lapangan. Day Sorak-sorai pertunjukan Topeng Blantek dibelakang salah-satu sundung seorang Belanda bernama Robert duduk manis dan tampak terkesima menikmati pertunjukan. Scene 2. Blank Screen Blank Screen : 1940 V.O Robert : ik hou van Betawi Saya cinta Betawi Ayah Robert : Inderdaad, sind je als kleine jongen in dit land bent, is je Hollandse bloed steeds meer verdwenen Memang, sejak kecil kamu ditanah ini, darah Belanda mu semakin hilang Ibu Robert : Je lichaam is wel Hollands. Maar je ziel is al Betawi Ragamu saja Belanda. Dalammu sudah Betawi Robert : Ik wil mijn naam veranderen in Robi'ih Aku ingin berganti nama menjadi Robi'ih Ibu Robert : Robert, mama heft je wel duizend keer gezegd gat je een Hollander bent! Robert, harus ribuan kali mama bilang bahwa kamu seorang Belanda! Robert : Ik wil spleen dat I keen Topeng Blantek bent Aku ingin menjadi pemain Topeng Blantek Ayah Robert : Robert! Robert! Sceen 3. Int - Kamar Robert. Night Robert menatap pistol ditangannya, sambil berdiri didepan lemari pakaiannya. V.O Kakek Robert : Dits is voor jou. Hiermee kan je goed onze kostbare spullen bewaken Ini untukmu. Jaga dengan baik barangku yang paling berharga Robert : Maar waarom, Opa? Untuk apa, Kek? Kakek Robert : Dit pistol is van grote waarde voor mij. Het heft al vele Inlanders gedood. Pas er goed op, Robert. Jij bent de man die dit onze familie voort zal zetten. Pistol ini adalah harga diri. Ia telah memakan banyak nyawa pribumi. Jaga wibawa itu, Robert. Kamu adalah laki-laki yang akan menjadi penerus keturunan keluarga ini. Robert : Ya, Opa Iya, Kek Scene 4. Ext - Teras Babeh Pi'ung. Night Robert datang ke rumah Babeh Pi'ung. Tampak pemain Topeng Blantek sedang berlatih. Para pemain Topeng Blantek tampak heran melihat Robert datang ke rumah Babeh Pi'ung. Scene 5. Ext. Teras Rumah. Night Robert : Aye mohon sekali sama Babeh. Terima Aye. Di meja sudah terlihat beberapa perhiasan dari Robert. Babeh Pi'ung : (menggeleng) Robert : Tolong Aye, Beh. Aye kepengen banget maen Topeng Blantek. Babeh Pi'ung : (masih diam) Kurang..... Robert : (berfikir) dan (pe;an-pelan mengeluarkan pistol) Ini harta terakhir Aye.... Babeh Pi'ung : (berfikir) Ya udah lu langsung ikut maen sono. Gua mao liat. Siape name lu? Robert : Robi'ih Babeh Pi'ung : Jali! Ajak nih si Robi'ih Robert menghampiri dan langsung ikut duduk dibarisan pemain. Jali : Kalo gua sih lebih pengen jadi penerus kebudayaan sendiri. Jangan jadi kacang lupa kulitnya! Mamat : Tapi ya ga pa pa sih Cang kalo orang jahat berobah bae. Robert : Siape orang jahatnye, Bang? Rohili : Ya Belande. (sambil setengah sinis) Totok kek. Pribumi kek. Robert : Wah, sayang aye Robi'ih, Bang. Orang Betawi. Babeh Pi'ung : Woi, maen yang bener. Kaga begitu cerita kita. Balik benang merah lagi. (Babeh menghampiri sambil memakai topeng Jantuk) Scene 6. Ext - Lapangan. Night Pertunjukan Topeng Blantek dimulai. Jantuk membuka acara pertunjukan. Jantuk : Assalamu'alaikum. Wr. Wb Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Ade-Ade, Ncang, Ncing, Nyak, Babeh, ketemu lagi dengan Bang Jantuk, bersama grup Topeng Blantek pimpinan Babeh Pi'ung. (penonton tepuk tangan dan sorak-sorai) Kali ini Topeng Blantek pimpinan Babeh Pi'ung akan membawakan cerita berjudul Munah Primadona Betawi. Dikisahkan, Munah adalah gadis paling cantik jelita se kampung Betawi Ora. Karena kecantikannya, Munah jadi rebutan. Adalah Robi'ih dan Mamat, dua jagoan kampung yang memperebutkan cinta Munah. Mereka adu kekuatan untuk menarik hati Munah. Baiklah, kalo begitu, selamat menyaksikan........ Robert, Mamat, dan Munah memasuki area permainan. Mamat : Lu demen ama si Munah? Langkahin dulu mayat gue. Robert : Siape takut, ayo langsung kita coba. Munah : (berada diantara Robi'ih dan Mamat) Robert dan Mamat bersiap memulai silat. Tiba-tiba Robert ditembak dari arah samping oleh Babeh Pi'ung. Robert seketika tumbang. Penonton dan pemain lain bersorak-sorai bergembira menyaksikan kematian Robert. Scene 7. Blank Screne Blank Screen : Credit Title V.O Babeh Pi'ung : Kenape elu mao jadi Betawi? Robert : Karena.....Betawi itu jujur. Apa adanya. Credit Title End

Topeng Blantek, Terima Kasih

Saya Afriani, kerap disapa Rian. Saya masih duduk di bangku Perkuliahan Semester IV Jurusan Penyiaran di Bina Sarana Informatika. Dalam coretan ini saya ingin menuliskan sedikit pengalaman saya dan teman-teman saya saat memproduksi sebuah film pendek berjudul "Totok di Batavia". Sekitar bulan September 2014, saya memasuki Semester III di bangku Perkuliahan. Di Semester ini saya dan teman-teman mendapat tugas memproduksi sebuah film pendek dengan durasi 5 menit untuk dilombakan di kompetisi film pendek antar cabang kampus se BSI. Kami harus membuat cerita yang orisinil dan menarik. Kompetisi ini bukan sebagai gengsi-gengsian semata, tapi juga hasilnya akan dimasukkan kedalam nilai beberapa mata kuliah kami di Semester III, seperti Teknik Penyutradaraan, Teknik Kamera, Teknik Editing, Teknik Penulisan Naskah, dan Tata Suara & Musik. Sehingga saya dan teman-teman harus mengupayakan cerita yang sangat bagus. Karena saya pribadi sangat percaya, salah satu yang sangat menentukan keberhasilan sebuah film adalah naskah/ide ceritanya. Setelah hampir sebulan kami mendiskusikan ide cerita. Saya dan beberapa teman berhasil membuat naskah. Sehingga jadilah 2 naskah untuk di voting bersama teman-teman. Ketika voting naskah saya lah yang terpilih. Saat itu saya membuat sebuah naskah cerita berlatar budaya Jawa dan zaman Pewayangan. Naskah tersebut saya tulis bersama sahabat saya, Andriani Nova, yang tidak berkuliah di BSI. Namun sayang ketika saya melakukan survey lokasi bersama teman-teman di Puncak, tempat dimana kami akan melaksanakan kompetisi tersebut. Saya amat kecewa. Lokasi yang kami datangi ternyata tidak sesuai dengan interpretasi saya. Sehingga seketika saya langsung membatalkan naskah yang terpilih itu, dan berkata kepada teman-teman, "Sorry tempat gak mendukung, dan gue gak mau ambil resiko dari naskah ini." Esoknya di kampus kami kembali berembuk lagi untuk mempersiapkan naskah yang baru. Sampai akhirnya naskah salah seorang teman dipilih menjadi ide cerita. Kami mulai mengolah dan membagi naskah tersebut dengan divisi-divisi lain. Hampir setiap malam kami latihan mulai membedah naskah, penempatan kamera, acting, dan lain-lain. Sampai suatu ketika naskah ini kami diskusikan dengan beberapa dosen yang mengajar kami, niatnya hanya untuk bimbingan. Alhasil ternyata naskah yang ada ini mendapat reaksi yang bertentangan dari dosen kami. Terutama dari background latar belakang budaya dalam ceritanya. Kami diminta riset lagi karena naskah ini terkait dengan budaya sebuah daerah. Kami akhirnya kembali riset terkait naskah tersebut. Tapi hingga 3 minggu menjelang kompetisi naskah kami belum mendapat tanggapan yang baik dari pihak dosen maupun kakak kelas kami. Berkat diskusi-diskusi dengan semua, akhirnya kami pun memutuskan untuk membuat cadangan naskah baru. Saya kembali dipercaya untuk membuat naskah. Sebagai jaga-jaga jikalau naskah yang ada belum juga berhasil mendapatkan bukti otentik dari riset. Sudah h-3 menuju kompetisi. Saya memutar otak untuk membuat cerita baru yang lebih kuat, orisinil, dan juga mendukung dengan lokasi. Jujur, saya pusing setengah mati. Pada suatu malam sepulang kuliah saya tak bisa tidur memikirkan nasib kelas saya dikompetisi itu. Waktu sudah sedekat ini ide cerita pun belum juga dipastikan. Kelas kami sudah ketinggalan jauh dari kelas-kelas lain. Saya mengambil handphone dan menghubungi Nova, sahabat saya, untuk sharing tentang masalah ini. Sembari saya membuka internet untuk searching, siapa tahu saya dapat ilham. Ketika browsing di google, saya menemukan sebuah blog seseorang yang banyak membahas mengenai kebudayaan dan kesenian Betawi. Saya mulai membaca-baca. Dalam tulisan di blog itu memuat salah satu kebudayaan dan kesenian Betawi bernama Topeng Blantek. Saya baru mendengar nama kesenian ini, sehingga saya langsung tertarik untuk mencari tahunya lebih banyak. Tidak puas hanya dari satu blog, maka saya mulai membaca dari blog atau website lain. Alhasil banyak juga masyarakat yang menulis tentang kesenian ini. Saya juga mencari di media sosial seperti facebook dan twitter. Di facebook saya menemukan salah satu fan page Sanggar Topeng Blantek yang berlokasi di Jakarta Selatan. Fajar Ibnu Sena, pimpinan Bang Nasir Mupid. Saya bagi temuan saya ini kepada Nova, dan kami mulai berdiskusi melalui sms mengenai cerita dengan menggunakan latar belakang kesenian Topeng Blantek. Berkat fan page faceebook tersebut saya menghubungi pihak sanggar, saya mendapat tanggapan. Ketika itu saya bergerak cukup cepat. 3 hari kemudian saya dan Nova memutuskan untuk datang langsung ke Sanggar Fajar Ibnu Sena untuk riset dan ngobrol terkait Topeng Blantek. Saya janjian dengan Bang Abdul Aziz, admin fan page facebook tersebut. Kami diminta datang ke sanggar mereka di Jalan Cileduk Raya Gg. H.Syatirih No. 82 RT. 002/03 Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Saya dan Nova segera bergerak mencari alamat dan kami berhasil bertemu admin dan salah satu penggiat sanggar, Bang Pauzi. Diperbicangan kami tersebut, mereka banyak cerita soal sejarah dari Topeng Blantek. Saya mendengarkan dengan cermat dan menulis hal-hal yang penting. Seketika saya menjadi semakin tertarik ketika mereka mulai cerita tentang kondisi Topeng Blantek hari ini. Kesenian ini belum benar-benar tercatat sebagai warisan budaya Betawi yang tertua dalam arsip Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Mereka banyak cerita bagaimana seniman-seniman dan penggiat Topeng Blantek, memperjuangkan kesenian ini agar mendapat pengakuan yang kuat dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Saya menjadi sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Kesenian yang sudah lahir sejak jaman kolonial dan mendominasi beberapa wilayah di Jabodetabek, khususnya di Jakarta Selatan, justru tidak mendapat tempat yang layak dari pemerintah. Kesenian ini justru diabaikan dan lambat laun dilupakan. Dari hampir puluhan sanggar Topeng Blantek yang hidup di Jabodetabek sejak tahun 1970 an, hanya tersisa 3-4 sanggar saja. Sanggar tersebut perlahan-lahan tergilas arus modernisasi jaman, dan tidak tersedianya yempat untuk mereka berkarya. Salah satu sanggar yang masih aktif dan konsisten melestarikan Topeng Blantek adalah sanggar Fajar Ibnu Sena, tempat mereka berada. Singkat cerita, saya dan Nova berhasil membuat naskah cerita berlatar Topeng Blantek. Naskah ini saya diskusikan dengan teman-teman. Kami melakukan voting ulang dari naskah yang sebelumnya, dan naskah yang saya dan Nova beri judul "Totok di Batavia" ini terpilih. Kami membuat janji kembali dengan pihak sanggar, dan saya mengajak teman-teman saya untuk mendiskusikan naskah ini untuk film kami. Di sanggar, kami bertemu dengan Bang Nasir, pendiri sekaligus pimpinan sanggar Fajar Ibnu Sena. Beliau pun banyak memberikan kami pelajaran dan cerita-cerita masa lalu yang menjadi bagian dari lahir dan berkembangnya Topeng Blantek. Bang Nasir juga membaca naskah Totok di Batavia yang saya dan Nova buat. Beliau tertarik dan mendukung. Diskusi yang terjadi terasa sangat ramah dan menyenangkan. Bang Nasir meminjamkan kami topeng Jantuk dan Bodor serta 3 buah sundung serta obor, untuk property kami ketika produksi nanti. Terima kasih, Bang Nasir. Tiba saat kami produksi, yaitu bulan November 2014. Kami datang ke Puncak dengan 3 cabang kampus BSI lainnya. Berangkat jam 7.00 WIB dari Jakarta, sampai pukul 11.00 WIB di Puncak, tepatnya daerah Cimacan. Dari pukul 11.00-13.00 WIB kami beristirahat dan mempersiapkan property serta kamera untuk produksi. Pukul 13.00 WIB kami memulai produksi hingga malam pukul 23.00 WIB. Kondisi yang terlihat di lokasi shooting kami sangat menegangkan karena kami diburu dengan waktu. Dimalam puncak pengumuman pemenang babak kualifikasi kelas kami berhasil mengalahkan 3 kampus lainnya. Dan meraih kemenangan dari banyak nominasi, diantaranya Naskah terbauk, Penyutradaraan terbaik, Tata Artistik terbaik, Editing terbaik, dan tentunya Film terbaik. Bukan kepalang senangnya kami. Ini terjadi berkat doa, usaha, dan semangat seluruh kru. Sebagai bonus kami juga mendapat penghargaan sebagai Best Performance dimalam anugerah berkat pertunjukan teatrikal karya M. Geo dan kawan-kawan. Sampai hari ini mungkin euphoria kemenangan ini masih terasa. Masih menyisakan kebahagiaan yang bukan kepalang berharga untuk kami, apalagi sebagai langkah awal kami menjadi film maker. Saya pun merasakan kebahagiaan yang sama dari teman-teman sanggar Fajar Ibnu Sena, mewakili teman-teman seniman Topeng Blantek. Beberapa kali teman-teman sanggar sering mengupdate apresiasi mereka tentang film Totok di Batavia ini melalui media sosial, seperti facebook. Mereka juga menuliskan apresiasi mereka kedalam blog. Bagaimanapun keberhasilan film ini tak luput dari bantuan dan dukungan teman-teman seniman Topeng Blantek, khususnya sanggar Fajar Ibnu Sena, yang dengan suka rela dan senang hati berbagi cerita dan pengalaman mereka selama berkarya melestarikan kesenian yang hampir punah ini. Satu hal sebenarnya yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini. Saya berterima kasih yang tak terhingga kepada Topeng Blantek, sebuah karya seni dan budaya dari tanah tercinta saya, Betawi, yang menjadi titik tumpu kekuatan dalam film Totok di Batavia. Saya dan Nova sangat bahagia, serta merupakan satu kehormatan besar untuk kami membuat sebuah naskah cerita budaya berlatar belakang kesenian yang hampir punah dan tergilas jaman ini. Saya dan Nova serta teman-teman dalam Akar Lensa merasa senang dapat menjadi bagian orang-orang yang turut memperjuangkan dan melestarikan salah satu situs kebudayaan di Indonesia ini. Walaupun begitu, apa yang sudah saya dan teman-teman lakukan tidak ada apa-apanya dengan yang sudah teman-teman seniman dan penggiat Topeng Blantek lakukan selama ini. Konsistensi dan kesabaran mereka menjadi sebuah nyawa bagi hidupnya Topeng Blantek di Indonesia. Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, mereka masih memiliki semangat yang tinggi untuk berkarya. Topeng Blantek tak akan hidup tanpa semangat teman-teman. Topeng Blantek, salah satu mahakarya tertua yang hidup di tanah Betawi, salah satu bentuk seni pertunjukan yang memberikan wadah bagi penggiatnya untuk terus belajar, salah satu bagian paling penting dalam perkembangan kesenian di Jabodetabek, khususnya di DKI Jakarta, harus dilestarikan dan diapresiasi secara penuh agar dapat terus dinikmati oleh anak cucu kita nanti. Topeng Blantek, Terima Kasih. Parung, 25 April 2015 Pukul 13.08 WIB ttd Rian Riyadi (bersama sahabat saya, Andriani Nova)

SEJARAH SEDEKAH BUMI DI LENGKONG WETAN

Wawancara kepada Bapak Bosin sebagai Amil di Kel. Lengkong Karya, Kec. Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan pada hari Senin tanggal 6 bulan Juli tahun 2015 pukul 15.30 WIB di kediamannya Kp. Perigi RT. 018/05 Lengkong Karya, Serpong Utara. Nama : Bosin Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 10 Agustus 1938 Alamat : Kp. Perigi RT. 018/05 Lengkong Karya, Serpong Utara Pekerjaan : Petani Sejarah Sedekah Bumi Masyarakat Lengkong Sekitar tahun 1950 an ada seorang tokoh Tionghoa peranakan bernama Pek Chunyo dan tokoh pemuda Betawi bernama Bosin yang berkompromi dan bersepakat untuk menyelenggarakan kegiatan "sedekah bumi" dengan alasan bahwa "kita buang aer di bumi, makan kita dari bumi" kalau bisa disuahakan kita dan semua masyarakat yang ada di Lengkong setiap tahunnya punya "kewajiban" untuk mensyukuri keberadaan kita di bumi, dalam bentuk perayaan makan makanan hasil bumi dengan diselingi tontonan topeng dan selanjutnya diakhiri oleh doa bersama. Pada kegiatan tersebut berlangsung hingga tahun 1952 yang diikuti oleh 30 Kepala Keluarga Lengkong dengan diiringi oleh hiburan tontonan topeng grup tholay Tangerang, setelah itu makan dan doa bersama dengan harapan tahun berikutnya mendapatkan keberkahan. Namun pada tahun 1953 atau 3 (tiga) tahun menjelang Pemilu 1955, terjadi kekacauan di semua wilayah Indonesia termasuk berdampak pula dengan situasi keamanan pada masyarakat Lengkong dan masyarakat menamakan masa itu adalah masanya "gerombolan" atau sebuah pemberontakan dalam bentuk perampokan massal kepada masyarakat yang dilakukan oleh para "pejuang" dan "pasukan sekutu" yang menetap dan kecewa terhadap pemerintah saat itu. Setelah Pemilu tahun 1955 selesai. Tahun 1960 amil Bosin hijrah ke Kulon Banten untuk memperdalam ilmu agama Islam disebuah Pesantren terkenal. Sehingga Pek Chunyo sendirian memimpin kegiatan "sedekah bumi" dan alhamdulillah beliau tak sendirian karena ditemani sahabat amil Bosin yang bernama Tirtonadi seorang tokoh masyarakat Lengkong menemani Pek Chunyo menggerakkan masyarakat Lengkong menyelenggarakan tradisi 'sedekah bumi" warisan leluhur mereka, sampai dengan tahun 1962. Karena di tahun tersebut, Tirtonadi pun hijrah ke Jakarta menyelesaikan tugas keluarga. Tahun 1962-1965 pecahlah "Gestok" yang disebut oleh Presiden Sukarno berarti Gerakan Satu Oktober yang digerakkan langgsung oleh "PKI" pimpinan DN Aidit. Terjadi kekacauan negeri, "sedekah bumi" kembali vakum. Dan tahun 1965 Pek Chunyo meninggal. Setelah ditinggal amil Bosin ke Kulon Banten untuk belajar agama, ditinggal Tirtonadi ke Jakarta urusan keluarga, dan meninggalnya Pek Chunyo, tradisi "sedekah bumi" masyarakat Lengkong vakum hingga tahun 2000 an. Kemudian tepatnya tahun 2014 tradisi "sedekah bumi" kembali digelar oleh masyarakat lengkong yang dipelopori oleh Apen salah satu keturunan Pek Chunyo hingga tahun 2015. Dengan keterangan diatas bahwa tradisi "sedekah bumi" masyarakat Lengkong adalah tradisi perkawinan tiga budaya, yaitu budaya Cina, budaya Sunda, dan budaya Betawi yang diselenggarakan oleh masyarakat Lengkong. Apakah ini akan terus berlangsung? Ataukah tergerus oleh arus modernisasi dan lenyap menghilang?

SEJARAH TUGU LENGKONG

Wawancara kepada Koh Apen sebagai pengurus makam Kel. She Giow Lengkong Wetan tanggal 9 bulan Juli tahun 2015 pukul 15.30 WIB di kediamannya Kp. Perigi RT. 018/05 Lengkong Karya, Serpong Utara. Nama : Apen Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 25 November 1961 Alamat : Kp. Perigi RT. 018/05 Lengkong Karya, Serpong Utara Pekerjaan : Swasta Menurut Koh Apen tokoh penggerak sedekah bumi tahun 2009, 2012, 2015 di Lengkong mengenai awal mula sedekah bumi adalah warisan adat istiadat leluhur Tionghoa yang berbaur dengan kebiasaan masyarakat Betawi di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten ini diselenggarakan setiap 3 (tiga) tahun sekali sehabis panen. “Sedekah bumi itu adalah suatu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Tionghoa peranakan dan masyarakat Betawi di Lengkong, Tangerang Selatan, Banten ketika sehabis panen, dengan menyelenggarakan makan bersama dari hasil tanaman padi, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan yang telah ditanam,” ungkapnya (9/7) dikediamannya Kampung Perigi RT. 018/05 Lengkong Karya, Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten. Dijelaskannya bahwa sedekah bumi terselenggara setiap 3 (tahun) sekali menurut penanggalan Tionghoa peninggalan leluhur kami Keluarga Besar She Ghow. Dimana berawal sejak tahun 1950 an Pek Chunyo Tionghoa peranakan bersama dengan amil Bosin dan Tirtonadi masyarakat Betawi mengungkapkan rasa syukurnya setelah panen dalam bentuk “sedekah bumi”. “Setelah ditinggalkan oleh ketiga tokoh pencetus “sedekah bumi” tersebut di tahun 1962, tradisi sedekah bumi vakum,” jelasnya. Dan tahun 1963 tradisi sedekah bumi kembali berlangsung yang dipimpin langsung oleh istri mendiang alm Pek Chunyo yang biasa dipanggil Ny. Kana hingga beliau meninggal tahun 1970, tradisi sedekah bumi vakum kembali. Masuk tahun 1980 Koh Apen dari Jakarta hijrah ke Lengkong menemani dan mengurus orang tuanya Ghow Jeli. “Dan beliau selalu berpesan sekaligus memberikan amanat kepada kami bahwa “wajib” mengurusi makam Keluarga Besar She Ghow dan tradisi sedekah bumi, hingga akhir hayatnya,”tegasnya. Pesan dan amanat tersebut terus saja “terngiang”. Dan pada akhirnya di tahun 1982, kami bersama tokoh masyarakat lainnya, Koh Apen, Chang Pe, Jok Wa, Koh Engle, In Chan memulai kembali tradisi sedekah bumi sekaligus membangun tugu yang kami sebut “Tugu Lengkong” sebagai tanda prosesi sedekah bumi di tahun selanjutnya. “Keberadaan “Tugu Lengkong” tersebut selain sebagai tanda sekaligus menjadi pusat batas teroterial administratif antara Kelurahan Lengkong Wetan dengan Kelurahan Lengkong Karya,” imbuhnya.

SEKAPUR SIRIH SENI BUDAYA PALANG PINTU BETAWI

Seni budaya palang pintu saat ini sudah bukan barang baru lagi bagi masyarakat kota Jakarta. Keberadaan grup palang pintu pun ibarat “alang-alang di musim ujan”, banyak sampai tak terhitung jumlahnya. Hampir di setiap kampung ada. Dan kini setiap perhelatan menggunakan jasa seni budaya palang pintu. Bukan hanya di acara perkawinan saja, tapi hampir di setiap acara menggunakan seni budaya palang pintu. Entah itu acara resmi sampai yang setengah resmi. Alhasil, semua acara yang terjadi dimasyarakat kota Jakarta sudah mulai memakai seni budaya palang pintu. Seperti sunatan, nujuh bulanan, tabligh akbar sampai mauludan dan masih banyak lagi. Mungkin cuma acara kelahiran sama kematian saja yang tak memakai seni budaya palang pintu. Fenomena keberadaannya ibarat seorang intertaintmen yang sedang “naik daun” bahwa setiap acara seni budaya palang pintu itu ada. Namun demikian adanya, maka perlu diketahui bahwa sejak kapan keberadaan seni budaya palang pintu melekat pada masyarakat Betawi? I. Sejarah Palang Pintu Betawi Ketika ditanya masalah palang pintu, RM Effendi (81 tahun) sesepuh Betawi Kel. Uluijami, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan menjawab dengan antusias dan penuh semangat walaupun usianya telah senja. Dikatakannya bahwa palang pintu itu ada sebelum saya lahir tahun 1933 serta bagi orang Betawi yang mampu. Dan waktu itu kalau orang Betawi menikah memakai palang pintu, dalam arti saling menyambut. Sambutannya paling pertama rombongan pengantin laki-laki memberi salam dan rombongan pengantin perempuan menerima salam, lalu ditanya maksud dan tujuannya, dan tolonglah persyaratannya diceritakan. Setelah diceritakan, baru debat pantun, ada ayat, ada adu jurus silat. “Kemudian dikenallah seni budaya palang pintu,” tandasnya. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kejadian atau peristiwa seni budaya palang pintu tempo dulu persis seperti sekarang, yang membedakan cuma dari segi bahasa saja. Kalau dulu “pyur” bahasa Betawi yang terkenal tegas, lugas, dan vulgar. “Jadi dulu yang memakai seni budaya palang pintu dalam prosesi pernikahannya adalah orang Betawi yang kaya raya. Sebab perhelatan tersebut memakai berbagai macam perlengkapan alat music, seperti rebana, kemplengan, beduk, dan segala macam. Dan prosesi palang pintu berlangsung setelah pengantin lelaki diarak oleh besan.” jelasnya. Beliau menambahkan bahwa dahulu hampir palang pintu pengantin lelaki dan palang pintu pengantin perempuan tidak saling kenal. Jadi besambut pantun dan jurus silatnya beneran dan asli. Seperti begini, kita tahu bahwa jagoan di Petukangan Kong Haji Hasbullah dan katakanlah dia pimpinan palang pintu pengantin lelaki dan Kong Haji Sidik misalnya pimpinan palang pintu pengantin perempuan, mereka saling beradu pantun, besambut jurus silat, dan setelah itu saling berpelukan. “Dan itu adalah simbol dari sebuah persyaratan prosesi pernikahan adat Betawi, tapi permainannya benar-benar terjadi dalam perkawinan,” tambahnya. II. Peran dan Andil Para Jago Silat Dalam Prosesi Palang Pintu Keberadaan palang pintu dari dahulu tidak terlepas dari peran dan andil para jago silat, hal ini ditegaskan oleh alm H. Machtum (65 th) sesepuh dan tokoh silat Beksi, Rawa Lindung, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. “Dan terutama silat Beksi yang dari dahulu sudah ada serta guru besar silat Beksi itu banyak, tapi yang menonjol itu ada tiga yaitu Kong Nur, Kong Simin, dan Kong Hasbulloh,” tegasnya. Mengenai silat Beksi di Petukangan Selatan mulai dikenal dan berkembang sejak tahun 1965 yang pada saat itu penduduk juga masih jarang dan juga ditandai dengan meletusnya G 30 S PKI. Sehingga membuat masyarakat saling mencurigai bahwa jangan-jangan satu sama lain itu terlibat G 30 S PKI. Dan bagaimana sikap para jago silat Beksi menghadapi situasi demikian? Jadi disatukanlah seluruh perguruan silat Beksi yang ada dan didirikanlah PSBKI (Persatuan Silat Beksi Indonesia) pada tahun 1966. Dengan logo kepala garuda dan tokoh yang sangat berpengaruh saat itu adalah alm Dimroh. “Nah semenjak itulah sebenarnya silat Beksi itu sudah ada dan berkembang,” jelasnya. Termasuk juga keberadaan seni budaya palang pintu itu sendiri, sebetulnya tahun 1966 sudah ada di Petukangan. Pada tahun 1961, tiga perguruan silat bersatu, yaitu silat Beksi, Kotek, Ronce, dan dinamakanlah PSBKRI (Persatuan Silat Beksi Kotek Ronce Indonesia). Namun karena banyak juga tokoh yang sudah sepuh dan meninggal, maka kembali lagi menjadi PSBKI tahun 1966. “Jadi kalau masalah palang pintu di Petukangan bukan barang baru, tapi sudah sejak dulu,” ungkapnya. Beliau menambahkan bahwa seperti misalnya orang Betawi menikah dengan orang Cianjur, mereka tidak mengerti palang pintu. Dibuatlah skenario dengan dikumpukannya 10 orang (5 orang di pihak perempuan dan 5 orang di pihak laki-laki) disanalah “gayung bersambut”. Kalo istilah orang Padang mengatakan “gayung bersambut” dan sebetulnya di masyarakat Padang itu tidak jauh beda dengan Betawi, cuma berbeda bahasa. Seperti waktu keluarga Haji Imron Cipulir menikah dengan orang Padang yang membawakan acara saya dengan membuat “gayung besambut”. Jadi keluarga Haji Imron pengantin perempuan dan yang besan lelakinya orang. Saya langsung bicara “Ketupat si ayam panggang, makan dodol dari Ciawi – saya lompat dari kota Padang, dapet jodoh orang Betawi”. “Demikianlah ilustrasi “silang budaya” yang membuat kaya khazanah budaya bangsa,” imbuhnya. Menurutnya palang pintu di Petukangan tahun 1966 sudah ada dan berkembang hingga tahun 1980 an. Kalau dahulu musik palang pintu itu diiringi dengan musik kendang pencak orang Pondok Pinang, kalau sekarang kan musik gambang kromong. Misalnya begini, dari pihak pengantin laki-laki “Gua dateng ke sini bukan gedebong yang jatoh disungai, Gua dateng kesinih adalah punya maksud dan tujuan untuk ngerebut tuh perempuan” lantas dijawab ama pihak pengantin perempuan “boleh aja tapi luh langkahin dulu mayat gua”. Tapi akhirnya biar dia jago dia akan mengalah karena dipihak perempuan. Kalau dahulu orang bawa duit itu seperti jeruk atau seperti apa aja ditaruh di nampan, sekarang tidak lagi dan ditaruh di parsel. Begitu nampan masuk kedalam pintu, orang langsung berebut. Ada sirih dan ada tembakau. “Jadi istilah orang tempo dulu, bukan masalah berebut itu makanan, tapi supaya anak-anaknya cepet dapat jodoh,” harapnya.